Menuju Hidup Kontributif
Sebagaimana kita ketahui bahwa ketika Allah memberikan pertanyaan berkaitan amanah, manusialah yang memilih untuk memegang amanah. “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72). Sesungguhnya manusia itu kurang pintar dan memilih duduk perkaranya. Pilihan tersebut mempunyai konsekuensi sendiri-sendiri. Dan konsekuensinya itu sudah ditentukan oleh Allah. Kadang kita (manusia) melakuakan itu benar, akan tetapi kadang belum tentu benar.
Mengambil jalan atau keputusan yang tidak terlalu popular, kadangkala kita harus berani melakukannya . Tidak menjadi orang kebanyakan, menjadi orang yang dalam kehidupannya bermakna. Jalan biasa banyak ditempuh dan diambil banyak orang. Tidak ada istimewanya. Oleh karena itu, supaya bisa memilih jalan yang tidak populer itu maka kita harus punya kekuatan-kekuatan. Masa yang akan datang juga ditentukan oleh pilihan kita. Butuh keberanian untuk memilih sesuatu yang lain. Prestasi tidak hanya dilihat dari sesuatu yang telah dicapai. Menentukan kriteria keberhasilan itu tak harusnya sama. Maka nantinya bentuk apresiasinya harus berbeda. Langkah kecil yang telah kita pilih itu akan sangat menentukan hidup kita.
Bagaimana menuju hidup yang kontributif?
Apakah yang selama ini kita peroleh merupakan suatu prestasi atau pemberian? Mengapa sebuah seprai itu terlipat? Bisa jadi itu merupakan konsekuensi dari sesuatu yang lain yakni karena memiliki kemampuan untuk terlipat. Kenapa yang belajar itu bisa pandai? Kepandaian bukan karena belajar tapi karena kira punya potensi untuk bisa belajar dan ingat potensi itu wilayah Allah. Manusia hanya mengaktualisasi potensi. Orang sombong itu sebenarnya karena tindakannya (aktualisasinya) yang sombong. Prestasinya itu sebenarnya dari proses Panjang. Contoh renungan lainnya, ketika muncul keyakinan bahwa petani itu yang menghasilkan tanaman padi yang berkualitas bagus dan sukses panen. Padahal sejatinya itu bukanlah karya kita (petani) tapi karena kita (petani) dikasih Allah.
Dengan demikian, maka kita harus bersyukur karena dijadikan beriman, jadi orang Indonesia, karena punya pekerjaan baik, bisa sedih kalau berbuat buruk dan lain sebagainya. Hakikat syukur bukan hanya sifat spiritual namun rasional. Orang pintar itu mesti syukur. Orang yang sombong itu pasti tidak pintar. Mampu mensyukuri itu asset dan merupakan kelebihan karakter seseorang. Kalau perlu harus ditrainingkan. Kita harus bersyukur dengan kemampuan kita untuk bersyukur. Syukur itu perlu, karena bahagia sehat sukses itu semuanya sulit. Nah, kontribusi itu adalah salah satu manifestesi rasa syukur. Di dalam otak itu ada ribuan bahkan milyaran data. Apabila kecil rasa syukurnya maka kecil kontribusinya dan berlaku sebaliknya.
Oleh karena itu, kita harus berpikiran agar selalu memberi dan bukan meminta. Istiqomah dalam kebaikan dan peningkatan kebaikan. Kehadiran kita selalu membawa kebaikan dan menjadi cahaya dimanapun berada. Mampu memaksa diri kita untuk melakukan kebaikan. Semoga Allah senantiasa melindungi dan merahmati kita di dunia dan di akhirat. Aamiin.